Membincang Keintiman Estetika Dalam Sastra

  
Ilmu sastra merupakan ilmu yang cukup tertua usianya. Ilmu ini sudah berawal pada abad ke-3 SM, yaitu pada saat Ariestoteles (384-322 SM) menulis bukunya yang berjudul Peotica yang memuat tentang teori drama tragedi. Istilah Peotica sebagai ilmu sastra, lambat laun digunakan dengan berbagai istilah lain oleh para teorikus seperti Study of Literature, oleh W.H Hudson, Theory of Literature oleh Rene Wellek dan Astin Werren, Literary Scholarship Andre Lavafere, serta Literary Knowledge (Ilmu Sastra) oleh A. Teeuw. Ilmu sastra sendiri ada tiga yaitu sejarah sastra, teori sastra dan kritik sastra.
Banyaknya teori dalam ilmu sastra terkadang membuat kita bingung dan susah membedakan. Terkhusus ketika kita ingin mengkaji sebuah karya sastra dengan pendekatan teori yang kita maksud. Akan tetapi yang menjadi permasalahannya adalah kita sering kebingungan menempatkan teori dalam ilmu sastra tersebut dengan pendektan yang kita inginkan. Dalam hal ini ada beberapa yang menjadi referensi kita untuk melihat seberapa besar hubungan antara konsep dalam Dunia Sastra, Teori Sastra dan Sejarah Sastra.
Dalam kesempatan kali ini ada tiga ilmu sastra yang ingin diperkenalkan dan sejauh mana mereka berkaitan. Karena dari ilmu satu terhadap ilmu yang lainnya merupakan langkah dan jenjang untuk memperoleh ilmu yang lebih tinggi lagi. Tapi seberapa besar hubungan ilmu tersebut dalam konsep penerapannya itu tidak akan pernah sama dan pastinya memiliki kelebihan tersendiri.
Tahapan pertama yang menjadi dasar dalam ilmu sastra adalah sejarah sastra. Sebelum seseorang itu mengenal lebih jauh terhadap sesuatu yang diminatinya, maka alangkah baiknya jika berkenalan terlebih dahulu. Begitu pun dalam maksud ini, sebelum kita memahani teori-teori sastra, maka alangkah baiknya jika kita megetahui sejarah sastra terlebih dahulu. Hal tersebut di maksudkan agar rasa kecintaan dan kebanggaan terhadap dunia sastra mulai tumbuh setelah mengenali proses panjang dari sastra itu sendiri.
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yang mempelajari perkembangan sastra dari waktu ke waktu. Di dalamnya dipelajari ciri-ciri karya sastra pada masa tertentu, para sastrawan yang mengisi arena sastra, puncak-puncak karya sastra yang menghiasi dunia sastra, serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di seputar masalah sastra.
Dalam perkembangan ilmu sastra, pernah timbul teori yang memisahkan antara ketiga disiplin ilmu tersebut. Khususnya bagi sejarah sastra dikatakan bahwa pengkajian sejarah sastra bersifat sebjektif sementara kritik sastra bersifat subjektif. Di samping itu, pengkajian sejarah sastra menggunakan pendekatan kewaktuan, sejarah sastra hanya dapat didekati dengan penilian dan kriteria pada zaman itu.
Bahkan dikatakan tidak dapat kesinambungan karya sastra suatu priode dengan priode berikutnya karena dia mewakili priode tertent. Walaupun teori ini mendapatakan kritikan yang cukup kuat dari para teorikus sejarah sastra, namun pendekatan ini sempat berkembang dari Jerman ke Inggris dan Amerika. Pada kenyataanya, ketika seseorang melakukan pengkajian, ketiga ilmu tersebut saling berkaitan.
Teori sastra ialah cabang ilmu sastra yang mempelajari tentang prinsip-prinsip, hukum, kategori, kriteria karya sastra yang membedakannya dengan yang bukan sastra. Teori sastra umumnya berupaya menjelaskan kepada pembaca perihal karya sastra sebagai karya seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Yunus:1990). Karya itu muncul sebagai dalam bentuk fisik (bahasa) yang khas. Kekhasan bahasa itu menunjukkan bahwa karya sastra bukanlah komunikasi biasa, melainkan komunikasi yang unik dan dapat menimbulkan multi makna dan penafsiran (A.Teeuw: 1984). Oleh karena itu diperlukan seperangkat teori keilmuan yang mengkaji, membahas, memperkatakan, dan menjelaskan perihal apa, mengapa, dan bagaimana karya sastra itu.
Jika disiasati dalam pembelajaran bahasa Indonesia, khsusunya sastra, teori yang paling menonjol yang dimanfaatkan adalah teori struktural. Teori ini melihat sastra sebgaia suatu subjek yang otonom. Sastra sebagai karya otonom terdiri dari dua unsur penting. Kedua unsur itu adalah unsur-unsur yang membangunnya dari luar dan dari dalam. Unsur itulah yang disebut unust ektrinsik dan unusr intrinsik (Esten:1988).
Secara eksplisit tesis Waston mengemukakan bahwa dasar teorinya adalah Struktural Genetik dari Goldman yang tidak lain adalah teori pengembangan George Lucas. Dalam tesisnya yang membahas novel Indonesia dari rentang tahun 1920 sampai 1950, yang dilihat dari latar sosiocultural dan segi pandangan dunianya. Sama seperti Goldman. Watson juga menaruh perhatian yang kuat pada teks sastra sebagai suatu strukur yang koheren.
Dalam teori struktural, bagian yang dianalisis meliputi tema, tokoh, alur, latar serta sudut pandang. Tema merupakan gagasan utama pada sebuah cerita, tokoh merupakan pelaku cerita. Istilah tokoh menunjuk kepada pelaku cerita, karakter merujuk pada perwatakan tokoh, sedangkan penokohan merupakan perwujudan dan pengembangan tokoh dalam seluruh cerita. Sedangkan yang dimaksud dengan latar yakni tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah karya sastra, kemudia sudut pandang yakni titik penghiasan dalam karya sastra.
Studi (kajian) sastra struktural tidak memperlakukan sebuah karya sastra tertentu sebagai objek kajiannya. Yang menjadi objek kajiannya adalah sistem sastra, yaitu seperangkat konvensi yang abstrak dan umum yang mengatur hubungan berbagai unsur dalam teks sastra sehingga unsur-unsur tertentu berkaitan satu sama lain dalam keseluruhan yang utuh.  Meskipun konvensi yang membentuk itu bersifat sosial dan ada dalam kesadaran masyarakat tertentu, namun studi sastra struktural beranggapan bahwa konvensi tersebut dapat dilacak dan dideskripsikan dari analisis struktur teks sastra itu sendiri secara otonom, terpisah dari pengarang ataupun realita sosial. Analisis yang seksama dan menyeluruh terhadap relasi-relasi berbagai unsur yang membangun teks sastra dianggap akan menghasilkan suatu pengetahuan tentang sistem sastra.
Teori Psikologi menurut Harjana (1991 : 60) pendekatan psikologi sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang pristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam menghayati dan mengsikapi kehidupan. Fungsi psikologi itu sendiri adalah melakukan penjajahan kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan respon terhadap tindakan lainnya.
Psikologi adalah kajian menguraikan kejiwaan dan meneliti alam bawah sadar pengarang. Sedangkan hubungan antara sastra dan psikologi karena munculnya istilah psikologi sastra yang membahas tetang hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra, misalnya karakter tokoh-tokoh dalam suatu karya sastra diciptakan pengarangnya berdasarkan kondisi psikologis yang dibangun oleh pengarangnya.
Sigmun Freud membagi kepribadian manusia menjadi tiga aspek yakni; id, ego, dan supper ego. Id merupakan kepribadian manusia yang berhubungan dengan aspek kesenangan, ego merupakan kepribadian manusia yang berusaha menekan id dengan berpegang kepada kenyataan, dan superego yakni kepribadian manusia yang lebih menkan kepada kesempurnaan dibandung dengan kepuasan serta berasal dari nurani yang berhubungan erat dengan moral.
Teori sastra psikoanalisis menganggap bahwa karya sastra sebagai symptom (gejala) dari pengarangnya. Dalam pasien histeria gejala muncul dalam bentuk gangguannya fisik, sedangkan dalam diri sastrawan gejalanya muncul dalam bentuk karya kreatif. Oleh karena itu dengan gangguannya semacam ini, tokoh-tokoh dalam sebuah novel misalnya akan diperlakukan seperti manusia yang hidup didalam lamunan si pengarang. Konflik-konflik yang dialami tokoh-tokoh tersebut dapat dipandang sebagai pencerminan atau representasi dari konflik kejiwaan dari pengarangnya sendiri.
Sosiologi Sastra, karena karya sastra anggap sebagai cerminan dari kehidupan sosial masyarakat, maka karya sastra bersifat unuk, karena imajinasi pengarang karya sastra dipadukan dengan kehidupan sosial yang kompleks. Sosilogi sastra merupakan teori sastra yang menganalisis sebuah karya sastra didasarkan pada segi-segi kemasyarakatan.disamping itu karya sastra juga dianggap sebagai ekspresi penngarang. Disebabkan oleh tindakan manusia yang tidak dapat lepas dari interaksi sosial dan komuninkasi serta kepribadian manusia dipengaruhi oleh sistem budaya, maka struktur sosial pengarang dapat mempengaruhi bentuk karya sastra itu sendiri.
            Kritik Sastra Feminis, teori sastra feminis melihat karya sastra sebagai cerminan realitas sosial patriarki. Oleh karena itu, tujuan penerapan teori ini adalah untuk membongkar anggapan patriarkis yang tersembunyi melalui gamaran atau citra perempuan dalam karya sastra. Dengan demikian, pembaca atau peneliti akan membaca teks sastra dengan kesadaran bahwa dirinya adalah perempuan yang tertindas oleh sistem sosial patriarki sehingga dia akan jeli melihat bagaimana teks sastra yang dibacanya itu menyembunyikan dan memihak pandangan patriarki.
Disamping itu, studi sastra dengen pendekatan feminismi tidak terbatas hanya pada upaya membongkar anggapan-anggapan patriarki yang terkandung dalam cara penggambaran perempuan melalui teks sastra, tetapi terkadang untuk mengkaji sastra perempuan secara khusus, yakni karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, yang disebut juga dengn istilah ginokritik. Disini yang diutamakan adalah kekhasan karya sastra yang dibuat oleh kaum perempuan, baik gaya, tema, jenis, maupun struktur karya sastra kaum perempuan. Para sastrawan perempuan juga diteliti secara khusus, misalnya proses kreatifnya, biografinya dan perkembangan profesi sastrawan perempuan.
            Resepsi Sastra, resepsi sastra adalah kualitas keindahan yang timbul sebagai akibat hubungan antara karya sastra dengan pembaca. Jika peneliti menggunakan resepsi sastra dalam penelitiannya, maka harus ditentukan terlebih dahulu maksud pengarang yang sebenarnya, baru mencari tau reaksi dari pembaca setelah membaca karya sastra. Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, maka karya sastra tidak bisa dipahami dari teks karya sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, maka karya sastra yang dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca.
Horizontal harapan pembaca ditentukan oleh tiga hal, yaitu : kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri, pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan begitu teks sastra, dan kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata. Butir ketiga ini ditentukan oleh sifat indertiminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real. Teori sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh generasi pembaca.
            Teori Marxis, teori marxis memberikan penekanan terhadap kehidupan manusia yang mana didalamnya kehidupan manusia itu sendiri ditentukan oleh sistem sosial dan ekonomi. Marxis memandang bahwa sejarah, budaya dan ekonomi saling berkaitan dalam memahami kelompok masyarakat. Sebab marxisme sendiri merupakan paham yang percaya bahwa penentu dari sistem kehidupan adalah ekonomi.
Sastra Psikolonial, merupakan kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajahan dan penjajahan (Aziz, 2003 : 200).
            Stilistika Studi Sastra, merupakan ilmu yang menganalisis cara penggunaan dan gaya bahasa dalam suatu karya sastra.
            Kajian Simiotik, simiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Hoed, 1992: 2) dalam pandangan simiotik yang berasal dari teori Saussure, bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda dan sebagai suatu tanda bahsa mewakili sesuatu yang lain yang disebut dengan makna. Jika dalam suatu teks kesusastraan bahasa menjadi sebuh sistem tanda, maka bukan hanya mengarah pada tataran makna pertama melainkan pada tataran makna tingkat kedua.
Sastra Dunia, Goethe mengatakan bahwa sastra dunia adalah sastra kanon yang membicarakan masalah universal. Benarkah demikian? Apakah sastra dunia harus ditulis dalam bahasa yang dominan, seperti bahasa Inggris? Dalam pembicaraan dengan Harry Aveling, dosen tamu Program Pascasarjana FIB UI, Asep Sambodja seorang Mahasiswa FIB UI mencoba bertanya padanya mengenai hal ini. Apakah sastra dunia itu? Harry Aveling menjawab, sastra dunia adalah seluruh karya sastra yang ada di dunia. Ketika ditanya, apakah ada kanonisasi? Harry pun menjawab singkat, dengan balik bertanya, siapa yang bisa melakukan kanonisasi?
Dari percakapaanya itu, Asep Sambodja dalam artikelnya tentang Sastra Dunia menyimpulkan sementara, bahwa karya sastra apa pun yang lahir ke dunia merupakan sastra dunia, apa pun temanya dan apa pun bahasa yang digunakannya. Hal ini mengingatkan kita pada pidato pengukuhan H.B. Jassin saat menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia pada 1975, bahwa sastra Indonesia adalah warga sastra dunia. Hal yang sama juga mengingatkan kita pada konsepsi Surat Kepercayaan Gelanggang yang dibuat Asrul Sani, yang menyatakan kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri.
Munculnya pendekatan-pendekatan baru dalam kritik sastra Indonesia mutakhir, seperti pendekatan feminisme, postkolonialisme, dan new historicism (tanpa kita pungkiri semua pendekatan ini berasal dari Barat) mempertegas kembali bahwa tidak ada otoritas tunggal yang berhak mengklaim bahwa suatu karya merupakan warga sastra dunia, dan karya lainnya bukan.
Berbagai pendekatan itu memiliki kesamaan tujuan, yakni mencoba meruntuhkan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Dengan kata lain, tidak ada satu pun kelompok di dunia ini yang dikehendaki mendominasi kelompok lainnya. Oposisi biner yang selama ini mencengkeram kepala kita, yang tanpa kita sadari sebenarnya merugikan salah satu pihak, dicoba diruntuhkan demi menghapuskan dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Misalnya, dominasi budaya patriarki yang merugikan perempuan, atau pun dominasi Barat terhadap negara-negara berkembang, dan sebagainya.
Secara garis besar, tujuan dari kajian sastra dunia adalah untuk mengenalkan karya-karya sastra diseluruh dunia, terutama yang sudah mendapatkan berbagai penghargaan. Selain dari pada itu, dengen kajian sastra dunia kita bisa dapat mengetahui secara tidak langsung budaya-budaya yang terpenakan oleh para sastrawan tentang daerah dan negara yang menjadi pembahasan dalam karya sastra tersebut. Dengan kajian sastra dunia pula, kita dapat mengetahui sejauh mana karya-karya sastra diseluruh dunia yang meliki sedikit persamaan, hal tersebutlah yang akan menjadi kajian pada sastra bandingan.
Lalu bagaimana estetika hadir dalam kerangka sastra?
Dalam sejarahnya estetika dibagi ke dalam beberapa pendekatan umum, sebagai berikut, pendekatan; Analitik, Pragmatis, Marxis, Strukturalis dan Poststrukturalis, Postmodernis dan Feminisme. Dua pendekatan yang pertama di peroleh secara langsung dari filsafat Anglo-Amerika, yang lainnya telah di inspirasikan oleh pemikiran-pemikiran orang Eropa. Beberapa teori-teori orang Eropa yang di anggap di publikasikan sebelum 1960, pengaruh-pengaruhnya terhadap estetika Anglo-American adalah lebih baru dan sebelumnya tidak masuk dalam ensiklopedia.
Kali ini kita akan mengacu pada estetika analitik, 
Estetika analitik muncul terhadap kebiasaan idealisme yang sangat sukar di pahami yang di dominasi pada awal abad ke-20. Melalui estetikanya, Croce dan Collingwood berpendapat bahwa semua seni memberikan suatu esensi umum, mereka membuktikan bahwa esensi ini adalah ekspresi intuisi dan karya seni tersebut semua mental atau ideal. Croce memandang rendah semua perbedaan empiris antara seni-seni yang berbeda dan genre-genre nya. Estetika analitik merupakan sebuah percobaan untuk memberikan filsafat seni lebih nyata dan konkrit dengan menolak spekulasi metafisika dan dengan mengadopsi metode umum dan anggapan dari filsafat analitik. Analis-analis yang berbeda membagikan suatu hal atas fakta empiris dan suatu komitmen yang kuat pada analisis konseptual sebagai metode filsafat yang layak. Satu bentuk dari analisis bertujuan untuk mengklarifikasi secara mudah konsep nyata tanpa berusaha untuk memperbaiki atau menolaknya. Bentuk kedua (di advokasikan oleh: Russell, Carnap, dan Goodman) melihat tujuan dari analisis klarifikasional sebagai penukaran dari suatu konsep yang membingungkan oleh konsep lainnya yang berhubungan yang akan menjadi lebih berguna secara filosofis dan kurangnya permasalahan dengan menghancurkan konsep aslinya pada bagian yang lebih dasar  atau dengan membangun ulang konsep secara rasional untuk membuatnya lebih berharga dan sistematis. Kedua bentuk tersebut di temukan dalam estetika analitik: paling populer, Goodman yang brilian sangat berpengaruh dalam mempekerjakan dua hal tersebut dalam ketentuan notasi karya seni.
Non esensialisme tentang seni telah menjadi suatu tema yang terkemuka dalam estetika analitik dan non esensialisme tentang seni juga di dalam bagian suatu hasil dari penyelidikannya demi kejelasan. Kebingungan dari estetika tradisional di hubungkan pada asumsi nya bahwa semua seni harus membagi suatu esensi umum yang memiliki penemuan yang dapat di gunakan sebagai suatu standar evaluatif. Asumsi ini, analis berargumen (bergantung kepada Wittgenstein), tidak benar. Hal tersebut mengacu filsuf untuk mengabaikan, menggabungkan, dan homogenisasi perbedaan-perbedaan penting antara seni-seni dan mengusulkan rumus-rumus esensi yang di asumsikan yang mana hal tersebut terdistorsi, samar, dan tidak menarik. Hingga, Passmore (juga: Hampshire, Kennick, Gallie, dan Weitz) melihat kesuraman “ketidaktahuan” dari estetik tradisional “sebagai kemunculan dari percobaan untuk memaksakan suatu kesatuan yang palsu pada benda-benda” yang sungguh berbeda. Daripada generalisasi bagi semua seni, analitik sekarang ini menganjurkan “kajian khusus dari seni-seni yang terpisah” dengan hal yang nyata bagi perbedaan-perbedaan (Passmore, 1954). Non Esensialisme juga mengemukakan fakta bahwa penggolongan dari berbagai bentuk-bentuk di bawah konsep umum seni sekarang ini hanya sebuah hasil dari sejarah baru, yang berefek pada abad ke-18. Kemudian hal tersebut di perdebatkan oleh Wollheim, Margolis, Weitz, dan yang lainnya bahwa seni tidak mempunyai esensi karena hal tersebut di bangun oleh sejarahnya yang berubah dan sejarah tersebut selalu terbuka untuk perubahan lebih lanjut. Menilik seni sebagai suatu konsep yang terbuka yang mempunyai bentuk yang di perlihatkan tidak ada esensi umum tapi hanya “untaian-untaian kesamaan,“ Morris Weitz (1956) berpendapat bahwa estetika haruslah terhindar dari percobaan yang memungkinkan untuk mendefinisikaan seni (atau adanya genre yang berkembang) dalam istilah esensi. Teori haruslah berfokus pada analisa konsep logika seni (dan kosep genre-nya), yang mana ia bedakan dua penggunaan logika yang berbeda: penggambaran (atau klasifikasi) dan evaluasi yang mengandung kehormatan.
Tiga estetika analitik utama melawan non esensialisme. Monroe Beardsley (1958) mendefinisikan semua seni ke dalam istilah penggunaan nya yang penting bagi pengalaman estetika. George Dickie (1971) mengusulkan suatu esensi institusional untuk karya-karya seni, mengartikan seni (dalam artian non evaluatif) sebagai suatu artifak yang di berikan status kandidat untuk apresiasi oleh seseorang atas kepentingan dunia seni. Esensi seni tidaklah pada properti yang di tunjukkan tapi pada asalnya, hal tersebut memperbolehkan keterbukaan bagi setiap perkembangan sejarah. Arthur Danto, dari siapa Dickie mengambil gagasan dunia seni, menolak pandangan Dickie karena hal tersebut menganggap kemahakuasaan agen dunia seni tanpa mengakui batasan sejarah yang menyusun aksi nya. Bentuk esensialisme nya mengidentifikasi seni dengan apa seni itu di interpretasikan secara historis di dunia seni. Sejarah masa depan tidak akan mengganggu definisi tersebut, sejak Danto berargumen, sejarah seni telah mencapai pada akhir nya dalam pengakuan bahwa semua hal bisa di kategorikan seni jika hal tersebut di interpretasikan (Danto, 1981, 1986). Analitik tersebut menginterpretasi ada sejarah dan institusi sosial, agak abstrak, “internal”, dan formal dibandingkan dengan: Marxis, Pragmatis, Poststrukturalis, dan Postmodernis berteori, yang mana menegaskan kekuatan sosial ekonomi yang lebih luas dan perjuangan politik yang membentuk sejarah dunia seni.
Pusat dari estetika analitik adalah konsep diri sebagai filsafat krtik. Daripada menawarkan tujuan atau pandangan yang berbeda tentang apa itu seni dan kritik seharusnya, hal tersebut seharusnya menjelaskan, menyusun, dan menyaring prinsip-prinsip seni dan kritik sebagaimana direfleksikan ke dalam praktik yang di bangun untuk membuat nya menjadi lebih masuk akal dan ilmiah. Estetika analitik mendapatkan dorongan dari pertumbuhan kritik ilmiah seni dalam akademi.
Satu konsekuensi dari metakritisme adalah suatu keasyikan yang luar biasa dengan seni daripada keindahan yang natural. Dan yang lainnya adalah ketertarikan yang luar biasa pada persoalan interpretasi daripada pengalaman estetika. Pastinya, beberapa percobaan sebelumnya mendefinisikan estetika (Sibley, Urmson), kecenderungan yang dominan sekarang telah mengkritik gagasan tradisional dari pengalaman estetika dan sikap estetis (Dickie, 1964, 1965). Goodman dan Danto  pernah mencela estetika sebagai suatu ideologi yang bersifat menindas yang membuat seni tidak begitu penting seperti berhawa nafsu, kesenangan emosional daripada pengetahuan. Konsekuensi yang lain dari estetika analitik gambaran diri sebagai metakritisme adalah suatu kecenderungan untuk menghindari persoalan yang evaluatif, khususnya dengan mengasingkannya pada tingkatan pertama dari kritikan itu sendiri. Sama seperti kritikan akademik berfokus pada intepretasi daripada evaluasi, begitu juga dengan estetika analitik. Goodman (1969) menyuarakan sikap ini dalam memperdebatkan “konsentrasi tradisional tersebut pada pertanyaan yang sangat luar biasa yang telah bertanggung jawab atas penyimpangan penyelidikan estetika”. Hal tersebut juga di nyatakan dalam percobaan Dickie untuk mendefinisikan seni dalam suatu non evaluatif murni, pengertian klasik, meningggalkan semua keputusan yang normatif pada dunia seni dan berasumsi bahwa ide sebenarnya dari suatu kandidat atas apresiasi tidak mengandalkan seni, pada beberapa akal holistik, sebuah konsep evaluatif, walaupun tidak semua karya-karya seni bisa bernilai.
Keasyikan yang intens dengan suatu objek (daripada pengalaman) seni di bina oleh paradigma metakritisme. Di khususkan pada tujuan kebenaran kritis, hal tersebut seharusnya di definisikan dengan ketelitian yang luar biasa suatu objek-objek kritikan, status ontologis yang tepat dan identitas dari karya-karya tertentu, dan keaslian dugaan manifestasi. Goodman, sebagai contoh, menawarkan definisi teks yang ketat bagi  karya-karya musik dan sastra, yang mana dikarenakan ketransitifan ciri khas, satu surat atau catatan yang berubah akan secara otomatis menghasilkan perubahan ciri khas suatu karya.
Jadi Estetika karya sastra dapat pahami berdasarkan penilaian individu dan penilaian masyarakat. Kategori penilaian individu tentunya harus dipahami bahwa seseorang mempunyai tingkat pengalaman dan pengetahuan yang berbeda serta cara menilai yang berbeda. Di tangan individu yang berpengalaman nilai estetika sastra dapat dipahami sebagai hal yang objektif, karena dapat diasumsikan bahwa seorang apresiator (individu) akan menjadikan pengalaman sebelumnya sebagai tolok ukur penilaian dalam membaca atau mengapresi sastra sesudahnya. Sebaliknya di tangan seseorang yang pengetahuan dan pengalamannya terhadap karya sastra rendah, estetika karya sastra hanya dapat dipahami secara subjektif. Namun hal itu juga tergantung karya sastranya, apabila karya sastra tersebut dapat membombastis para pembaca dengan estetika umum, maka dapat diasumsikan orang yang membacanya juga menilaianya dengan indah. Karya sastra yang demikian tentunya marupakan karya sastra yang dapat menyajikan keindahan dalam berbagai aspek dan sesuai dengan kebiasaan ‘masyarakat’.
Karya sastra yang tidak dapat menghadirkan keindahan sesuai dengan kebiasaan atau kultur masyarakat setempat akan menjadi karya sastra pasif yang keberadaanya sulit diterima oleh masyarakat. Sastra yang indah di masyarakat adalah sastra yang mampu mewadai nilai-nilai yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat. Meskipun fungsi utama karya sastra sebagai media hiburan, kalau hiburan tersebut dapat menjerumuskan anggota masyarakat ke hal yang destruktif, maka fungsi hiburan yang ada hanya menjadi hiburan semu. Masyarakat berharap bahwa wahana hiburan dalam karya sastra dapat menjadi media hiburan yang totalitas, dalam hal ini hiburan tersebut dapat membangkitkan spirit hidup. Apabila hiburan tersebut terkesan sebagai hedonis (kesenangan nafsu) dan tidak diseimbangi dengan yang lain keberadaan karya sastra tersebut sulit untuk diapresiasi oleh masyarakat.
Sastra yang hanya memberikan satu aspek saja atau hanya memberikan hiburan pada satu golongan dengan satu bentuk karya sastra, maka sastra itu dapat dikatagorikan sebagai sastra segmentatif atau sastra yang hanya diperuntukkan untuk satu golongan satu oreintasi bukan semua golongan dan berbagai tujuan. Sastra seharusnya dapat memberikan hiburan secara utuh, dengan melihat kebutuhan masyarakat luas, sehingga keberadaan sastra dapat diterima oleh orang banyak.