Realis


Apakah teater realis itu?
Sebelum kita sampai kepada pengertian teater realis, ada baiknya kita mengenali dulu tentang makna realitasRealitas (reality) adalah segala kondisi, situasi atau obyek-obyek yang dianggap benar-benar ada di dalam dunia kehidupan, sebagai kebalikan dari apa yang disebut fiksi, ilusi, halusinasi atau fantasi (Yasraf Amir Piliang: 2004).
Berdasarkan pengertian tentang realitas di atas, maka dapat dikatakan bahwa hal utama atau pokok di dalam teater realis adalah kondisi, situasi atau objek-objek yang nyata. Nyata, artinya mereka bisa dikenali melalui panca indra dan logika umum/konvensional (common sense). Hal-hal yang serba nyata itu meliputi (1) ruang geografis (2) waktu terjadinya peristiwa, (3) pelaku, misalnya manusia, (4) benda-benda, dan (5) suasana/atmosfer. Lima hal itu menyatu di dalam apa yang disebut peristiwa dramatik.
Dengan demikian teater realis bisa dimaknai sebagai aktivitas estetis dan dramatis yang berbasis pada realitas berupa ruang, waktu peristiwa, pelaku (aktor), benda-benda dan suasana/atmosfer yang semuanya saling mengikat dan menyatu. Dengan cara itu, teater realis menghadirkan tafsir nilai atas kehidupan yang bisa diresepsi dan dipahami oleh khalayak penonton. Artinya, seluruh kehadiran realitas di ruang teater itu bisa diacu atau dirujuk berdasarkan realitas yang ada dan hidup dalam masyarakat. Meski demikian, bukan berarti semua hal yang disajikan teater realis merupakan laporan atau tiruan langsung dari kenyataan. Sebab, di dalam teater realis berlangsung transformasi estetis atas berbagai realitas yang ada di dalam ranah kehidupan publik. Dengan cara ini, teater realis terhindar dari bahasa ungkap dan ucap yang klise.
Di dalam teater realis dikandung dua ide pokok. Yakni, ide sosial yang mewujud dalam tema dan persoalan, dan ide estetik yang mewujud dalam bahasa ungkap simbolik. Ide sosial (tema dan persoalan) beroperasi di dalam wilayah gagasan atau pesan sosial (ingat, teater sesungguhnya merupakan tesis atas realitas untuk menemukan nilai-nilai kemungkinan). Lewat ide sosial itu, pelaku teater realis membangun jagat kisah yang membuka ruang dialog secara kognitif dan afektif terhadap penonton. Dari jagat kisah ini terbangun pula alur cerita atau plot (hubungan sebab akibat), perwatakan tokoh dan konflik.
Sedangkan ide estetik beroperasi di wilayah bentuk pemanggungan seperti penciptaan ruang permainan (set), seni peran/seni akting, sistem pengadegan, penciptaan irama pertunjukan, penciptaan suasana dramatik dan berbagai spektakel lainnya. Dengan kata lain, ide-ide estetik –yang mewujud dalam kreativitas estetis—merupakan piranti atau media yang memungkinkan ide sosial menjadi “daging” seni pertunjukan yang bisa dikenali, dipahami, dinikmati dan dihayati oleh khalayak penonton. Di sini, ketrampilan dan wawasan menjadi kunci.
*
Saya menduga, lahirnya teater realis memiliki hubungan dengan lahirnya faham humanisme dan eksistensialisme di Barat; dua faham yang mengedepankan human dignity (martabat manusia) dan guna mengimbangi (melawan) materialisme.
Di Indonesia, teater realis dikenalkan untuk pertama kalinya oleh grup Teater Maya pimpinan Usmar Ismail yang berdiri menjelang lahirnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (sekitar tahun 1940-an). Seni pengadeganan (mise en scene) dan seni akting grup teater yang lahir di zaman Jepang ini berorientasi kepada aliran realisme, sebuah kecenderungan untuk “menjadi modern”. Dan orientasi ini berarti menjadikan Barat sebagai sumber estetikanya, yang kemudian dipertegas oleh Asrul Sani (kolega dekat Usmar Ismail) dan kawan-kawan dalam menyusun kurikulum pendidikan teater kita yang diperuntukkan bagi Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) yang didirikan di Jakarta pada pertengahan 1950-an. Drama-drama yang dipentaskan oleh ATNI pun lebih banyak merupakan terjemahan/saduran dari karya seniman Barat, antara lain karya William Saroyan, Rupert Brooke, WW Jacob, Anton Chekhov, August Strindberg, Nikolai Gogol dan Emmanuel Robles, selain karya penulis drama kita (Malam Jahanam karya Motinggo Boesye, Titik-titik Hitam karya Nasjah Djamin, Domba-Domba Revolusi karya Bambang Soelarto, Mutiara dari Nusa Laut karya Usmar Ismail dan Pagar Kawat Berduri karya Trisnojuwono (Ikranagara: Teater Nasional Indonesia, dalam Teater Indonesia, Konsep, Sejarah, Problem, Dewan Kesenian Jakarta, 1999).
*
Di Yogyakarta, keberadaan Akademi Seni Drama dan Film Indonesia/ASDRAFI (Sri Murtono dan kawan-kawan) memiliki peran besar dalam pengembangan teater realis. Karena, realisme, bagi kampus ini merupakan orientasi pendidikan teaternya. Lahirlah antara lain aktor-aktor seperti Koesno Soejarwadi, Maroeli Sitompoel, selain sutradara teater dan film Teguh Karya.
Selain ASDRAFI juga ada peran “Kelompok UGM” yang ditulang-punggungi Umar Kayam, Soebagyo Sastrowardoyo dan kawan-kawan yang diantaranya pernah mementaskan lakon Hanya Satu Kali garapan sutradara Umar Kayam dengan pemain utama Rendra.
Di luar ASDRAFI dan “Kelompok UGM” muncul pula Teater Indonesia (Kirjomulyo, Iman Soetrisno dan kawan-kawan) yang banyak mementaskan naskah realis karya Kirjomulyo (Senja dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, dan lain-lain) dan karya Nasjah Djamin (Sekelumit Nyanyian Sunda), karya Bambang Soelarto (Abu dan lain-lain).
Teater Muslim (pimpinan Mohammad Diponegoro) yang di dalamnya juga bergabung Arifin C Noer, juga memiliki kontribusi nilai yang signifikan bagi perkembangan teater realis, salah satunya adalah lewat pementasan lakon lblis karya Mohammad Diponegoro. Ketika Teater Muslim ditinggalkan oleh Mohammad Diponegoro (karena meninggal) dan Arifin C Noer (hijrah ke Jakarta), Pedro Sudjono, seorang pengusaha tempe memimpin teater itu. Dipimpin Pedro, pada tahun 1980-an, Teater Muslim produktif mementaskan lakon baik di TVRI maupun di panggung yang salah satunya adalah Pedro dalam Pasungan yang sukses dalam mendatangkan penonton di Purna Budaya Yogya.
Selain Teater Muslim juga muncul Teater Ramada (A Adjib Hamzah dan kawan-kawan) dan Teater Kronis (Aziz Sumarlo dan kawan-kawan) yang juga giat mementaskan drama-drama realis.
Akhir 1980-an, Yogya bisa dibilang sepi akan drama realis. Pentas teater Yogya lebih banyak diisi oleh pementasan gaya non-realis seperti Teater Alam, Dinasti, Stemka, Arena, Shima, Gandrik dan lain-lain. Namun, dalam kesunyian itu, mencuat Teater Pusaka (Arifin Brandan, Bambang Susiawan dan kawan-kawan) yang mementaskan drama-drama realis seperti Durban Noto Alas.
Beberapa tahun kemudian (akhir 1999-an) muncul Teater Garasi dengan “Empat Penggal Kisah Cinta” dan Teater Gardanalla dengan lakon Tiga Dara dan lainnya.
*
Dalam perkembangannya, kenapa teater realis menjadi (pilihan) minoritas?
Di Indonesia, sejak tahun 1940-an, teater realis merupakan pilihan awal bagi para pelaku teater untuk mengukuhkan diri sebagai bangsa modern, setelah sebelumnya mereka mengenal teater tradisional yang tumbuh dan hidup dalam berbagai budaya etnik. Teater realis juga menjadi penanda penting bagi pilihan para pelaku teater Indonesia (Usmar Ismail, Asrul Sani dan kawan-kawan) atas budaya Barat sebagai orientasi estetik. Bahkan, pilihan ini dikukuhkan dengan lahirnya lembaga ATNI (Akademi Teater Indonesia).
Tumbangnya Orde Lama membuka kran kebebasan bagi sejumlah seniman teater Indonesia untuk mencari dan menemukan kemungkinan estetik lain di luar teater realis. Hal ini ditandai dengan munculnya ekspresi teater, yang oleh Ikranagara diistilahkan dengan “non-realis”, “eksperimental”, “alternatif”, “(kembali ke ) akar budaya”, “wajah Indonesia”, “pluralisme” dan “polyphony” yang ditokohi oleh Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan lainnya. Pilihan estetik teater oleh Rendra dan kawan-kawan itu menimbulkan gema dan pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan teater modern di Indonesia, hingga kini. Kenyataan ini, saya kira, yang menjadi faktor penting, kenapa teater realis menjadi (pilihan) minoritas.
Dalam konteks itu, teater realis, agaknya, dipandang sebagai media estetik yang kurang strategis untuk mengekspresikan berbagai kegelisahan estetis dan non-estetis. Selain itu, ada hal lain muncul: yakni “matinya” tokoh. Yakni, bergesernya tokoh berjiwa, berdarah-daging (tokoh psikologis) ke tokoh sebagai penyosokan pikiran/ide. Hal ini antara lain tampak pada drama-drama Arifin C Noer (Kapai-Kapai, Mega-Mega, Umang-Umang dan lain-lain), Putu Wijaya (Aduh, Tai, Lho, Los, Front dan lain-lain)  yang punya pengaruh besar dalam pekembangan teater di Indonesia. “Matinya tokoh” tersebut berdampak pula pada disiplin latihan seorang aktor. Para aktor tidak lagi berkutat pada persoalan seni peran yang njlimet seperti dalam teater realis (yang mementingkan detil dan kewajaran), melainkan lebih pada pola ungkap non-realis yang acuannya tidak hanya seni teater tapi juga seni tari Barat atau tradisional (Asia), teater tradisional (wayang, ketoprak, dagelan, tarling, lenong, srandul, cak, dan lain-lain),  pencak silat, dan lainnya.
*Indra Tranggono, pemerhati teater, tinggal di Yogyakarta
Disampaikan dalam pembukaan pameran “Jejak Realisme di Indonesia” oleh Perpustakaan Teater garasi, pada tanggal 4 Oktober 2006, di Pendopo Teater Garasi.
(terbit di skAnA volume 02, November 2006 – Maret 2007)