Setiap negara akan berusaha tampil dengan kelengkapan budayanya sebagai jati diri yang membedakan dengan negara lainnya. Di samping itu, pembangunan kebudayaan nasional didorong oleh kebutuhan akan media sosial yang dapat mempersatukan bangsa merupakan tenaga yang kuat danmenjadi dasar kebanggaan suatu bangsa.
Dalam kenyataan yang sesungguhnya pengembangan kebudayaan Indonesia menjadi terlantar disebabkan perhatian yang kurang terhadap arti penting kebudayaan. Jika kebudayaan lebih dipandang dari sektor ekonomi saja, jualan, pelestarian seni budaya tradisi kurang mendapatkan perhatian yang pantas, ini mengarah pada terputusnya akar tradisi dengan masyarakatnya.
Suatu masyarakat yang sudah memiliki karakter yang khas, termasuk di dalamnya terdapat nilai-nilai kearifan lokal, kebersamaan akan musnah begitu saja, oleh karena generasi berikutnya tidak dikenalkan oleh akar kebudayaannya. Mereka akan merasa asing dengan “ibu” mereka sendiri. Masyarakat itu akan menjadi masyarakat dunia, tidak memiliki identitas sehingga akan mencari atau membentuk identitasnya sendiri sesuai batas apa yang mereka dapatkan dari berbagai sumber informasi. Boleh jadi jikalau disekolah sudah diberlakukan suatu kurikulum yang mewajibkan kepada siswa untuk mengenali akar budayanya. Tetapi kita hanya berbicara satu sektor saja. Belum lagi jika kita memandang dari sudut pemahaman pengajar akan materi tersebut. Terlebih lagi sasaran apa yang akan di capai atas pengajaran kesenian tradisi sebagai muatan lokal, sector ekonomi, atau sektor nurani? Toh pendidikan sudah diselenggarakan sejak zaman Belanda dahulu (dan gratis), dan hasilnya? Lihatlah pemahaman apa yang ada di dalam benak para peserta di ik yang sekarang duduk di berbagai kursi penentu kebijakan negeri ini
terhadap kebudayaan.
Satu sisi, eksekutif mengeluhkan anggaran yang terlalu kecil, sedang di sisi lain, legislative tidak mau mengetuk palu dengan anggaran pembinaan atau pengembangan kebudayaan yang terlalu besar karena menganggap bahwa kesenian dan kebudayan hanya bersenang-senang saja, tidak efektif dalam pencapaian pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan. Sekali lagi, bahwa kesenian, kebudayaan, diukur dengan pandangan yang sempit. Uang! Lalu dimanakah proses pembelajaran? Bukankah kesenian itu berarti seseorang atau beberapa harus menampilkan sesuatu secara indah? Hanya orang jenius yang langsung bisa. Lalu di manakah pula hati nurani?
Bukankah kesenian itu bekerja di wilayah hati? Bahwa seorang pelaku seni akan bahagia jika ia mampu membahagiakan orang lain, membahagiakan masyarakatnya. Membahagiakan alam semesta. Dan bukankah itu pekerjaan manusia mengurus bumi ini sebagai khalifah fil ardl? Tidak hanya itu, dan tidak sebatas bahwa karya kesenian itu ditampilkan begitu saja, jika itu saja, kita hanya bicara matangnya. saja, namanya instant thinking jika tidak mau dikatakan sebagai masyarakat serba instant yang tidak peduli proses dan anti kerja keras.
Suatu karya muncul berdasarkan hati nurani pula. Berdasarkan penglihatan, perasaan, pembacaan terhadap semesta, iqra’, tehadap persoalanpersoalan yang muncul di kemasyarakatan, yang tentu saja itu membutuhkan ketajaman dan kemurnian hati nurani.
Barangkali kita terlalu jauh jika bicara soal hati nurani karena semua orang sudah tahu, lagi pula masyarakat kita adalah masyarakat yang beragama. Tinggal sejauh mana ajaran agama itu diejawantahkan dalam bentuk perilaku masyarakat yang berbudi, berdaya, dan beradab, atau madani. Memiliki akar kebudayaan yang jelas, memiliki identitas yang terang dari masyarakat yang manakah kita. Kesenian tradisional menjadi tidak diminati oleh generasi muda atau kehilangan penerusnya dikarenakan banyak factor. Kesulitan akses informasi, kurangnya (jika tidak ingin dikatakan tidak ada) pembinaan dan olahan penyesuaian dengan perkembangan zaman (termasuk pengaruh perubahan kepercayaan/ religi yang dianut), kurangnya pengenalan-seperti mengadakan pentas seni tradisi di ruang public secara gratis.
Tentu suatu prestasi yang membanggakan jika mengolah suatu kesenian tradisi menjadi kesenian khas yang bisa ditampilkan di berbagai mancanegara, terlebih lagi mampu menampilkan secara kolosal. Namun hal itu tidaklah menjadi suatu sukses besar jika nasib kesenian tradisi lain terabaikan. Tentu akan lebih bernurani jika semua mendapatkan binaan yang sama, tidak yang itu-itu saja, semua mendapat kesempatan yang sama, terlebih lagi kepada mereka di komunitas tumbuh dari masyarakat dan diwariskan secara turun-temurun, asli, orisinil. Pembinan tentu tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, bisa juga dilakukan oleh swasta atau masyarakat pada umumnya. Tetapi tentu hanya pemerintahlah yang memiliki daya yang besar baik secara kebijakan maupun budget dibandingkan dengan lembaga swasta atau masyarakat. Maka pemerintah perlu meng-upgrade sumber daya manusia yang dimiliki baik keilmuan maupun mental spiritual. Tentu ini bukan berarti menafikan peran swasta maupun masyarakat, tentu semua berhak melakukan pembinaan, nn mun masyarakat dan lembaga swasta sudah pasti terukur kemampuannya. Kecuali jika kita berbicara kemitraan dalam konteks industri kesenian. Tetapi untuk apa kita bicarakan disini? Toh itu sudah berjalan puluhan tahun di bidang seni popular seperti terbitnya album-album kaset, buku-buku cerita dan novel picisan, sinetron, dan sebagainya.
Memang ada lembaga-lembaga swasta yang mampu membina secara regular seperti lembaga-lembaga kebudayaan dari mancanegara atau semacam perserikatan dari beberapa negara Eropa atau semacamnya, bahkan ada beberapa negara yang memiliki dokumentasi, literature, atau benda-benda pusaka milik negeri kita. Tetapi apakah kita akan meminta bantuan begit saja? lagi-lagi akan berpulang pada pertanyaan pertama. Memangnya tanggung jawab siapa?