Bahasa Bukan Sekedar Praktik Pelisanan Biasa



Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi yang dilakukan berjalan lancar dengan baik,penerima dan pengirim bahasa harus harus menguasai bahasanya.

 Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan bendanya. Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan.
Teater sebagai seni pertunjukan sering menempatkan bahasa sebagai salah satu potensi ekspresinya. Berkait dengan itu, kehadiran dan keberadaan aktor menjadi penting ketika ia harus mengartikulasikan bahasa itu. Dalam praktik teater yang menempatkan bahasa sebagai potensi ekspresi ini (drama monolog, ensemble [ansambel], pembacaan cerpen dll) seorang aktor dipaksa menyusun strategi untuk bekerja-sama dengan bahasa yang hendak dipraktikan pelisanannya dalam teater yang hendak diwujudkan. Kami mencoba mengulik perihal itu pada Landung Simatupang (LS): seorang sutradara, aktor, dan juga penyair. Berikut hasil percakapan tertulis itu:
Refleksi awal yang kayak apa/bagaimana, yang sering muncul secara spontan ketika mendapatkan naskah (cerpen/drama[teater]) untuk diperani/mainkan?

@: Kalau aku membaca cerpen atau naskah drama (lakon) yang “kena di hati dan pikiranku”, biasanya aku lantas berpikir-pikir: untuk orang lain bagaimana, ya? Apa orang lain, kalau sudah membacanya, juga mengalami keterkenaan itu? Apakah orang lain juga secara potensi diperkaya referensinya kehidupan oleh karya itu?
Seperti halnya ketika aku ketamuan “ilham” (he … he … ilham!) untuk nulis sajak, aku barangkali lalu tersodok-sodok untuk berbagi cerapan dengan orang lain. Dalam hal ini, cerapan itu adalah cerapan atas karya tertentu. Kalau karya itu cerpen, ya aku berfikir tentang kemungkinan mempresentasikannya dengan membacakannya.
Biasanya aku sangat sadar bahwa yang kulakukan bukan mempresentasikan cerpen yang bersangkutan melainkan cerapanku atasnya. Tentang lakon, pada dasarnya kira-kira demikian pula. Juga esai, berita-kisah (feature) di koran dan majalah. Selain melakukan pentas-baca cerpen dan puisi, aku juga membacakan esai.
(Biografi puitika Landung Simatupang dari tahun ‘70an hingga ‘95 terkumpul dalam antologi “Sambil Jalan”. Alumnus jurusan Sastra Inggris fakultas sastra Universitas Gadjah Mada ini juga mengerjakan terjemahan. Tak hanya puisi, prosa dan naskah lakon yang diterjemahkannya. Buku-buku ilmu humaniora pun tak luput dari garapannya: “After the Fact” karya Clifford Gertz, “Levi Strauss, empu Strukturalisme” karya Octavio Paz sempat dialihbahasakan. Anggi Minarni, direktur Karta Pustaka Yogyakarta, menyebutnya the best story teller from Yogyakarta. Dan mesin pencari Google menyediakan 731 artikel untuk namanya.)

Berkait dengan pengertian “cerapan”, bisa dijelaskan lebih lanjut mengenai praktik kreatif itu? Semacam berandai-andai dengan istilah itu: “cerapan”; yang terbayang adanya sesuatu yang otentik milik penulis (yang dicerap) dan adanya kerja kreatif dari yang mencerap. Bagaimana dua hal ini ditengarai?
@: Yang kumaksud dengan cerapan sebetulnya adalah bahwa aku mengenali diriku atau diri potensialku, situasiku atau situasi potensialku, pengalaman-pengalamanku atau pengalaman potensialku, realitasku atau realitas potensialku, dan juga orang-orang lain sekitarku, dalam karya tulis tertentu itu. Misalnya dalam “Musim Gugur Kembali di Connecticut”-nya Umar Kayam; “Dilarang Mencintai Bunga-bunga”-nya Kuntowijoyo; “Bukan Pasar Malam”-nya Pramoedya Ananta Toer; atau “Endgame”-nya Samuel Beckett. Dalam karya-karya itu “gambar” diri dan situasiku (dan orang-orang lain sejauh tangkapanku) seperti dipertajam, diperbesar, dimunculkan berulang-ulang. Itu saja.
(Sebuah pertunjukan teater yang mengangkat warna lokal Jawa, pada tahun 1999 oleh kelompok Black Swan Theatre di Australia mengontrak Landung sebagai penerjemah sekaligus aktor. Lelaki berusia lewat setengah abad ini juga menyempatkan nongol pada beberapa film dan media video, antara lain Daun di Atas Bantal garapan Garin Nugroho, Kidung karya Hanung Bramantyo. Landung sempat menjalani kehidupan sebagai dosen di almameternya, sebelum memilih menjadi pemulung kata-kata. Pada sebuah harian yang terbit di Jakarta, sutradara ini mengaku hidup dari keajaiban kesenian.)

Sebuah naskah cenderung punya “kaidah” bahasanya sendiri yang sudah jadi, atau selesai. Sementara pertunjukan mengandaikan sebuah peristiwa komunikasi yang justru belum terjadi dan sering justru harus dibarengi dengan beberapa hal lain yang baru mewujud di atas panggung. Seberapa jauh, sebagai aktor, pertimbangan kebahasaan naskah ini diterima apa adanya, dan atau diintervensi dalam penghadirannya di atas pementasan? Pertimbangan apa saja yang diperhitungkan dalam melakukan intervensi di wilayah bahasa ini?

@: Memang ada kalanya aku ragu ketika dihadapkan pada teks tertentu yang untukku “mengena”, atau berpotensi “mengena”, tetapi di sisi lain mengandung aspek seperti yang anda bilang itu: “punya ‘kaidah’ bahasanya sendiri yang sudah jadi.” Sebetulnya, persoalan baru muncul ketika cerapanku atas karya itu akan kupersembahkan, kutawarkan sebagai urun-urunku, kontribusiku, dalam ngrasani, mempergunjingkan kehidupan, supaya “hidup jadi lebih hidup”, sambil tetap mempertahankan teks itu apa adanya. Ambil contoh waktu aku “terkena” oleh terjemahan Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (dari awal abad XI). Terjemahan itu dikerjakan oleh I. Kuntara Wiryamartana sebagai bagian dari disertasinya sekitar 20 tahun lalu.

(Tahun ‘88, Landung pernah membacakan novelete Umar Kayam; Sri Sumarah, di Senisono Yogyakarta bersama Fajar Suharno yang membacakan Bawuk. Prosa itu dibacanya lagi pada 2001 dengan tajuk; Landung membaca Kayam: Musim Gugur di Kebun Karet, yang dipentaskan di Jakarta dan Yogyakarta. Setelah itu sejumlah prosa dari banyak penulis dilalapnya di atas panggung pembacaan. Dari karya Kuntowijoyo, Romo Mangun, Sindhunata, Seno Gumira Adjidarma, Elisabeth D. Inandiak, Rosa Liksom, Ayu Utami hingga Dewi Lestari. Landung mengaku, praktik kreatif pembacaannya diinspirasi oleh Chairul Umam, salah satu aktor dan sutradara di Teater Ketjil).

Sebagai bagian dari wacana akademis tertentu, penerjemahan I. Kuntara Wiryamartana harus menghadapi rambu-rambunya yang khas. Misalnya, terjemahan itu tidak dapat sebebas “terjemahan” (dari Bahasa Inggris) Chairil Anwar atas sajak Hsu Chih Mo yang dalam versi Chairil menjadi berjudul “Datang Dara, Hilang Dara, Datang Dara Hilang Dara” itu. Ketika aku berpikir tentang membuat upaya untuk berbagi cerapan dengan publik “sekarang” (2005), kutemukan bahwa hal itu lebih punya peluang terjadi dengan lebih baik jika ada semacam pembahasaan ulang. “Penerjemahan” dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Indonesia. Dan kaidah dasar penerjemahan pun berlaku di sini: mencari ekuivalensi antara bahasa sumber (sebagai yang kutemukan tertulis di teks) dan bahasa tujuan (meliputi, antara lain, ragam bahasa Indonesia yang kubayangkan akrab bagi calon penontonku). Itulah yang aku lakukan dalam pentas-baca (sebagian) dari Arjuna Wiwaha tahun lalu. Sebelumnya, aku mengontak I. Kuntara Wiryamartana yang menyetujui bahkan mendukung tingkah-polahku itu.

(Dalam biografi yang ditulisnya untuk kumpulan puisi Sambil Jalan, Landung mengaku, salah satunya moyangnya seorang lurah di Tempel Sleman, yang apabila malam, sering menjelma menjadi tokoh Bagong dalam pergelaran wayang wong. Konon, lurah yang sehari-harinya dijadikan panutan warga itu tak sungkan melontarkan banyolan-banyolan vulgar selagi menjabat punakawan.) Memang, peristiwa komunikasi dalam pertunjukan baru terjadi ketika pertunjukan bergulir, dengan melibatkan aktor dan kehadiran publik yang tertentu. Tetapi sebetulnya semacam “simulasi tentatif” dari peristiwa itu – di dalamnya termasuk unsur komunikasi verbal, yang bisa dominan dan bisa juga tak dominan – toh sudah dilakukan ketika aktor berlatih. Bahkan sebelumnya: ketika menghadapi skrip.

Dalam penggelaran lakon teater, sutradara dapat berbeda-beda menyikapi “kesudahselesaian” bahasa verbal itu. Kalau anda tanya bagaimana aku selaku aktor menyikapi ihwal itu, jawabnya banyak bergantung pada wawasan sutradaraku.
Kalau kebetulan sutradara maupun aktornya aku sendiri, misalnya dalam pentas-baca Arjuna Wiwaha itu, biasanya aku melontarkan pertanyaan enteng begini: andaikan si pujangga hidup sekarang, menyapa publik sekarang, lebih khusus lagi, mungkin, anak muda sekarang, kira-kira akan bagaimana cara dia “berceloteh”? Ini membebaskan aku. “Bahasa gaul” pun silahkan masuk dengan merdeka, pada tahap ini.

Tapi setelah itu, kurasa, setidaknya sampai saat ini, aku wajib memperhatikan konvensi di seputar teks atau skrip itu. Maka lalu masuklah pertimbangan lain: dalam penciptaannya “dulu”, teks itu dimaksudkan sebagai apa? Itu yang pertama. Bagaimanakah, kira-kira, implikasi intensi, atau itikad itu pada genre, sub-genre, idiom, metafora, diksi, dan sebagainya, yang dipilih oleh si penulis? Dan kupertajam pertanyaanku pada diri sendiri mengenai apa itikadku sekarang dalam menyampaikan cerapanku atas karya itu? Dalam hubungan dengan itu, berapa jauh suasana arkais, keantik-antikan, misalnya, perlu dimunculkan?

Dengan pertimbangan tentang hal-hal itu, “pembahasaan-ulang” gampang-gampangan pada tahap awal itu ditilik kembali, diubah. Mungkin hasilnya, sebagai konsekuensi dari pertimbangan-pertimbangan itu, ialah teks yang dari sisi kebahasaan/pembahasaan verbal kurang populer, kurang “komunikatif”. Ya, unsur-unsur pemanggungan yang lain lalu turun tangan lebih tuntas. Secara visual, misalnya, set dan tampilan aktor dapat ditangani dengan cara tertentu yang membantu publik mengantisipasi “secara pas” genre ungkapan estetis tertentu yang muncul.

Untuk Arjuna Wiwaha, aku menggunakan gubahan musik gamelan minimalis, yang dikerjakan oleh Surono, dan dimainkan dengan instrumen grantang Bali, untuk mengiringi pembacaanku dengan gaya dalang. Di panggung terpacak beberapa sosok wayang kulit menurut gagrak Ki Sukasman. Gaya narasi mendalang juga kugunakan ketika membacakan penggalan Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata dan fragmen Kitab Omong Kosong Seno Gumira Ajidarma (keduanya didasarkan atas Ramayana). Ini contoh saja.

Sangat mungkin, terutama kalau kasusnya penggelaran lakon, sebagian ungkapan verbal digantikan dengan yang visual atau suasana auditif nonverbal, misalnya. Ini semacam “penerjemahan” juga, yang basisnya adalah pencarian ekuivalensi.

Paduan unsur-unsur itu membentuk konvensi “kebahasaan” (“bahasa” dalam arti yang diperluas) suatu pergelaran, yang diusahakan tersampaikan dengan jelas kepada publik. Publik tidak pernah bodoh, hanya ada yang kurang lentur menerima konvensi estetik dan “kebahasaan” suatu pertunjukan. Itu lebih soal sikap.

(Menggarap lakon Makbett, yang naskahnya diterjemahkannya dari karya Ionessco, Landung mengagetkan publik teater Yogya di arena FKY ‘95. Landung menyuguhkan foto-foto bertemakan kekerasan yang terjadi di pelbagai penjuru dunia di antara sequel-sequel adegan pentasnya. Masuknya unsur dari luar teks literernya ini, ditengarai oleh Afrizal Malna sebagai geliat hadirnya nalar postmodernisme dalam gejala teater.)

Tadi dikatakan adanya kaidah dasar penerjemahan, yakni, mencari ekuivalensi antara bahasa sumber dan bahasa tujuan. Sangat mungkin, terutama kalau kasusnya penggelaran lakon (sebagai bahasa tujuannya), sebagian ungkapan verbal digantikan dengan yang visual atau suasana auditif nonverbal, misalnya. Ini semacam “penerjemahan” juga, yang basisnya adalah pencarian ekuivalensi. Bisa dijelaskan bagaimana suasana auditif dibentuk? Dan pertimbangan strategis yang bagaimana untuk mendapatkan ekuivalensi itu?

@: Pertama-tama, semuanya itu berurusan dengan iktikadku untuk menyampaikan pengalamanku menggulati suatu teks/naskah dan jenis tanggapan yang kuharapkan dari publik terhadap realitas/gagasan yang kutemukan ‘terpotret’, ‘direpresentasikan’, ‘tersaran’, ‘tersindirkan’, ‘terungkap’, ... apa lagi ... oleh/dalam teks itu. Mungkin suatu saat aku berharap publik (penonton) bersama-sama membentuk sikap “ya” atau “tidak” – meminjam ungkapan Peter Brook – terhadap realitas/gagasan tersebut, misalnya. Atau mungkin aku berharap dapat membentuk pilahan antara kubu “ya” dan kubu “tidak” di antara penonton. Kemungkinan lain lagi, aku ingin mengajak penonton merenungkan realitas dan/atau gagasan itu dengan tenang, meditatif. Nah, aku tentu saja lalu harus menemukan sarana-sarana yang terindera untuk keperluan pemanggungan. Pementasan kan bukan sepenuhnya kebatinan. Dalam upayaku menemukan sarana-sarana demikian, aku harus pelajari betul ‘referensi audiovisual’ yang dimiliki calon publikku nanti. Referensi itu bisa berbeda-beda. Penonton yang berbeda dalam artian ruang dan waktu punya “referensi audiovisual”-nya sendiri-sendiri. Tentang referensi audiovisual yang bergeser-geser terus ini, kupikir banyak yang bisa kita pelajari dari kancah industri film dan musik. Jadi, apa yang secara serampangan kusebut ‘ekuivalensi’ itu sangat mungkin adalah sesuatu yang harus didefinisikan dan didefinisikan-ulang dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain, dari publik yang satu ke publik berikutnya.

Sebuah peristiwa pertunjukan tak luput dari ukuran keberhasilan. Ukuran ini bisa beragam dan bermacam-macam. Sebagai seorang aktor ukuran keberhasilan yang seperti apa yang sering/cenderung digunakan untuk menakar keberhasilan pementasan?

@: Aku tidak punya alat ukurnya. Sampai sekarang. Ancar-ancarnya, ya kalau penonton puas dan aku puas. Karena rasa-rasanya penonton belum pernah puas dan aku juga, ya aku yakin, aku belum berhasil. Itu keyakinanku yang penting, dan kukira masih perlu kupertahankan.